
Krisis Di Ngurah Rai, Blogger Czech Republic Dan Trip Ramadhan Tak Terlupakan
Tulisan ini adalah kelanjutan dari cerita AKIBAT ERUPSI GUNUNG RAUNG
10 Juli 2015: 09.10 WITA
Setelah sekitar 3 jam menunggu, pada pukul 09.10 tiba-tiba ada panggilan dari petugas boarding bahwa penumpang Air Asia dipersilahkan maju menemui petugas boarding. Saat itu dari pihak bandara masih belum ada keputusan apapun. Kami berkerumun antusias berharap penerbangan segera dilakukan. Ternyata petugas boarding menyampaikan bahwa kami harus turun kembali ke check-in counter dan kemungkinan harus mengambil kembali bagasi kami. Semua penumpang saling berpandangan dan bertanya-tanya. Namun petugas boarding hanya meminta kami untuk menemui petugas di check-in counter dan menunggu informasi disana.
Sambil menggeleng-geleng kami penuh kebingungan berjalan kembali ke check-in counter. Demikian halnya penumpang maskapai lainnya. Saya juga mulai gelisah dan Pak Singgih sudah mulai mengeluh bahwa pasti ada banyak agenda yang harus dia cancel. Maklum, beliau juga termasuk orang penting di kampusnya. Para penumpang berjalan sambil kasak-kusuk dengan informasi yang berseliweran. Semua tahu bahwa ini akibat erupsi Gunung Raung, namun informasi penerbangan dari Bandara Ngurah Rai yang masih belum jelas.

Sesampainya di check-in counter barulah saya mengerti. Penundaan ini sangat serius. Di depan counter yang berderet-deret itu orang-orang berjubel. Ada yang antri dengan urut, namun ada juga yang karena penasaran akan nasibnya, mereka berdesak-desakan mengajukan pertanyaan kepada petugas di check-in counter tersebut. Di counter Air Asia yang relatif mudah di jangkau saya segera menuju ke petugas yang tersedia dan dia yang tadi memang melakukan check-in tiket saya dan Pak Singgih. Saya sampaikan keinginan untuk mendapatkan informasi dan hendak mengambil bagasi saya. Dia hanya menjawab dengan halus bahwa bagasi saya masih ada di pesawat dan saya diminta menunggu dekat-dekat saja dari counter check-in tersebut.
Sekitar 30 menit kemudian, beberapa orang mulai menyampaikan bahwa penerbangan ditunda hingga malam. Ada juga yang bilang hingga esok. Dan bagasi kami masih saja belum jelas. Satu jam berlalu akhirnya Pihak Bandara Ngurah Rai mengeluarkan pernyataan resmi bahwa hari itu, 10 Juli 2015, seluruh penerbangan dari dan ke Bali dibatalkan dan Bandara menutup aktivitas operasionalnya.

Beberapa petugas ground Air Asia tampak sibuk membawa bagasi penumpang yang telah diturunkan dari pesawat. Segera saya menemukan tas hitam besar saya dan menuju check-in counter. Saat antri saya melihat para petugas sudah mulai kelelahan menjawab satu per satu pertanyaan dan komplain penumpang. Saat giliran saya tiba, saya di berikan dua pilihan. Reschedule atau no-Cash refund. Awalnya saya memilih reschedule, namun setelah petugas menyampaikan, hanya tersedia seat ditanggal 13 Juli 2015, saya menjawab that’s impossible kita harus menunggu selama itu.
Ketika jatuh pada pilihan no-Cash refund, dia menjelaskan bahwa itu adalah penggantian dengan tiket pesawat Air Asia atas nama saya yang bisa digunakan untuk 3 bulan kedepan. Jika hendak digunakan bisa kemana saja sesuai harga tiket atau penambahan. Jika tidak digunakan maka tiket akan hangus. Jika saya cancel. Maka saya tidak akan mendapat apapun. Saya tidak punya pilihan lain selain mengambil opsi no-Cash refund. Daripada saya kehilangan tiket tersebut.
Setelah mengurus hal tersebut. Saya dan Pak Singgih menuju ke Terminal Ubung Denpasar. Kami memutuskan untuk mengambil jalur darat dan naik bus. Itu yang paling rasional. Karena ketika saya menelepon salah satu driver langganan selama di Bali, dia mengatakan bahwa biaya rental mobil Bali-Yogyakarta adalah Rp. 2.500.000 hingga Rp. 3.000.000, wah..wah..sungguh tidak worthy.
13.30 WITA: Terminal Ubung Denpasar
Kami tiba di Ubung dan telah mendapatkan kontak untuk orang yang menjual tiket bus ke Yogyakarta. Kami sudah dipesankan dan nama busnya adalah Karya Jaya. Sayangnya kami tidak bisa mendapatkan informasi segera untuk mendapatkan bus Safari Darma Raya yang seingat saya lebih reliable. Dalam kondisi seperti itu, pikiran saya yang penting bisa segera sampai di Yogyakarta. Kami diminta menunggu hingga pukul 15.30.
Hingga menjelang pukul 15.00, bus tersebut belum juga datang. Saya menemui pengelola loket penjualan tiket tersebut dan dia meminta saya menunggu. Hingga 45 menit kemudian, bus juga belum tampak. Saya mulai bolak-balik menanyakan kepada petugas loket. Demikian halnya beberapa calon penumpang lain, yang wajah-wajahnya sempat saya lihat di bandara juga. Pak Singgih mulai gusar dan agak kesal dengan penjual tiket tersebut. Kami sadar sebagian besar penjual tiket tersebut adalah calo. Namun ini agak terlalu. Kami diminta menunggu karena disampaikan ada pergantian bus.
Merasa satu kubu dan senasib, kami mulai berbicang dan berkenalan satu sama lain. Saya banyak berbincang dengan dua orang berkewarganegaraan Ceko atau Czech Republic mereka menyebutnya. Michael dan Wendy. Dua orang anak muda dari Ceko. Mereka mahasiwa bidang studi Computer Science. Mereka sedang travelling dan sudah 10 hari di Bali. Meski dari Ceko, Bahasa Inggris mereka sangat baik. Ini kali pertama mereka di Indonesia dan hendak menuju Yogyakarta.
Sayangnya nasib kami sama, penerbangan yang di cancel. Berusaha switch transportasi dan mulai merasa dikerjai calo terminal Ubung ini. Saya bilang kepada mereka, kalo sampai kita dibohongi, kita gantung itu calo. Mereka tertawa. Tampak lebih santai, bisa jadi karena mereka sedang travelling. Sementara saya dan Pak Singgih masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di Yogyakarta.
Sambil berseloroh, saya bilang kepada Michael, “at least we have something to write on the blog”. Dia menjawab, “yeah, I think the same Ferdi”..wahaha, kami ngakak bareng. Nyambung sudah saya ngobrol sama Michael. Dia blogging dalam bahasa Czech dan saya menggunakan Bahasa Indonesia. Saya becandain saja, gampang untuk mengetahui tulisanmu. Aku tinggal copy lalu taruh di Google translate, paham deh…lagi-lagi kita ngakak. Saya kasih kartu nama dan Michael bilang bahwa dia nggak punya business card, tapi akan kirimkan link blog dia ke email saya. OK good, sahut saya.
17.00 WITA: Denpasar – Gilimanuk
Setelah lebih dari dua jam menunggu. Tibalah bus yang akan membawa kami ke Yogyakarta. Seperti dugaan kami, sebenarnya bus ini lumayan, tetapi bukan trayek resmi. Ini adalah bus pariwisata yang kemudian semacam di sewa untuk mengangkut kami. Didalam bus sudah terdapat puluhan manusia yang hendak menuju ke arah barat bersama kami, meski tidak mencari kitab suci macam Sun Gokong dan gurunya Tong Sam Chong.
Si petugas tiket berkali-kali minta maaf kepada kami dan mentraktir kami dengan minuman botol yang bisa kami pilih sendiri di salah satu kios terminal tersebut. Dia pun memberikan kartu namanya dan menjamin supaya kami bisa tiba di Yogyakarta. Dia bisa dihubungi jika ada apa-apa. Ok lah, saya cukup percaya.

Daaan akhirnyaaa..berangkatlah kami, termasuk Michael dan Wendy, menuju Yogyakarta. Karena pengaturan seat yang tidak menentu, saya tidak bisa bersebelahan dengan Pak Singgih. Kami mengalah kepada seorang ibu dan putrinya yang ingin bersebelahan. Saya dan Pak Singgih duduk berbeda hanya depan belakang. Pak Singgih duduk tepat didepan saya. Sementara di sebelah saya seorang lelaki berumur sekitar 29-30 tahun. Asli Sukabumi dan seorang pekerja konstruksi. Dia bersama 19 kawannya ada di bus tersebut dan hendak turun di Bandung serta Sukabumi. Barulah saya sadar bahwa ternyata satu bus itu semua adalah juga mereka yang tidak bisa terbang hari ini dan memutuskan untuk naik bus.
Kami pun cepat akrab, sekali lagi sebagai sesama korban. Sesekali saya ikut tertawa ketika mereka bercanda, meski dalam bahasa Sunda dan saya hanya menangkap sekilas maksudnya, tapi saya geli dengan aksen dan gaya bicara mereka. Terlebih ketika mengomentari sopir bus yang agak ugal-ugalan cara menyetirnya, mereka juga mengingatkan si sopir dengan cara yang kocak. Suasana yang tegang sedikit kendur.
Sesekali saya meminjam charger milik seorang pria juga di seberang tempat duduk saya. Dua smartphone yang saya bawa low battery semua. Serta ngobrol dengan ibu yang meminta tempat kepada saya dan Pak Singgih tadi. Belakangan saya ketahui, namanya Ibu Sheva dan putrinya Chantal, serta seorang temannya bernama ibu Dwi.
Perjalanan Denpasar – Gilimanuk ini ternyata mulai padat merayap. Karena mungkin perjalanan keluar pulau Bali banyak dipenuhi pemudik ke Pulau Jawa. Kami berharap, setelah tiba di Pulau Jawa perjalanan lebih lancar karena arus yang kami tempuh ke Barat adalah bukan arus mudik.
23.30 WITA Gilimanuk – Ketapang
Hingga pukul 23.30 kami akhirnya sampai di Pelabuhan Gilimanuk. Segera menuju Ketapang. Ketika bus sudah masuk didalam kapal Fery saya segera menuju lantai atas dekat tempat duduk penumpang di kapal tersebut. Mencari Mushola, karena merasa sungguh perlu menunaikan sholat. Duh, saat bersujud rasanya ada haru yang menyeruak di kalbu, karena ini masih malam Ramadhan dan rasa rindu kepada masjid tercinta tiba-tiba membuncah.
Sekitar 60 menit kami berada diatas kapal Ferry tersebut dan Alhamdulillah, rasa syukur pertama adalah kami telah sampai di tanah Jawa kembali. Bus kembali meluncur cepat dan kami semua tertidur nyenyak. Saya juga menarik selimut yang sudah dibagikan sore tadi oleh kondektur, menutupi leher kebawah. Air conditioner dari bus ini semakin menambah dingin tengah malam.
Betapapun dinginnya, saya yakin pada masjid-masjid yang mulia diluar sana, pasti banyak pemburu Lailatul Qodar duduk dan berdiri, sujud dan menunduk hikmat mengharap kecintaan Allah Ta’ala yang Maha Kasih merengkuh mereka. Maka doa mereka pun semakin padu. Meratap-ratap dan mengiba penuh rindu pada surga yang kekal dengan kehidupan yang senantiasa baru. Mengingat itu semua, hati ini teriris haru. Memohon Duhai Allah, semoga perjalanan ini Engkau nilai penuh barokah dan Engkau cucuri rahmat dengan berdzikir pada-Mu, meski hamba tidak bisa bersujud dalam di Masjid-Mu. Aamiin.
11 Juli 2015: 02.15 WIB – Situbondo
Beberapa waktu kemudian kami terbangun dan terkaget-kaget mendengar dentuman musik dangdut koplo. Sungguh sadis cara mereka membangunkan kami. Ternyata waktu sudah menunjukkan waktu pukul 02.15 dan kami tiba di Rumah Makan Situbondo. Saya bersyukur, karena maghrib tadi saat berbuka hingga jam tersebut perut ini belum tersentuh nasi. Saya makan banyak-banyak dan menikmatinya sebagai juga hidangan sahur.

Saya masih sempat berbincang dengan Michael dan Wendy di rumah makan tersebut. Ngobrol ngalor ngidul dan rencana besok di Yogyakarta. Mereka hanya makan sedikit dan lebih banyak makan semangka yang juga disediakan. Bisa jadi mereka tidak terbiasa juga makan jam sahur seperti itu. Demikian halnya Pak Singgih, yang memang sudah menjaga pola makannya. Beliau mengatakan bahwa ini karena faktor usia.
Setelah beberapa waktu kami kembali menempuh perjalanan. Kali ini sopir bus tersebut tampak lebih tenang. Mungkin karena sudah beristirahat dan digantikan oleh rekannya selama beberapa waktu. Atau bisa jadi karena salah satu penumpang yang anggota kepolisian telah mengingatkan dia. Selebihnya kami merasa lebih nyaman saja. Sebagian besar kembali terlelap.
06.00 WIB
Kami mulai menyusuri pagi di kota-kota Jawa Timur. Seingat saya sejak pukul 03.00 kami berangkat dari Rumah Makan Situbondo tersebut beberapa kali kami berhenti di SPBU, saat subuh dan sedikit istirahat. Masa-masa akhir malam dan subuh biasanya memang puncak kantuk bagi sebagian besar orang termasuk sopir bus kami. Lebih baik demikian memang, beristirahat dahulu.
Tercatat ada 11 orang yang berencana turun di Yogyakarta, ketika nanti bus akan melanjutkan perjalanan ke Bandung. Saya mulai berdiskusi dengan mereka. Beberapa juga akan turun di Bandara Adisucipto. Pak Singgih termasuk hendak mengambil kendaraannya di sana dan ada yang hendak melanjutkan perjalanan ke Jakarta menggunakan pesawat. Akhirnya kami putuskan untuk meminta kepada sopir bus supaya nanti saat di Jogja ia bisa menurunkan kami di dekat Bandara Adisucipto.
12.00 WIB – 15.00 WIB
Saya menghubungi Pak Setiyoko, rekan driver di kantor untuk bersiap sekitar pukul 14.00 untuk menjemput saya di depan Bandara Adisucipto. Saya juga meminta ia menggunakan Daihatsu Luxio yang lebar, karena ada beberapa rekan seperjalanan yang ingin saya bantu. Saya bilang kepada ibu Sheva dan Ibu Dwi serta Michael dan Wendy supaya tidak usah bingung ketika tiba nanti, karena mereka bisa turut serta dengan saya.
Mereka tampak antusias dan tersenyum cerah lalu mengucapkan terimakasih. It’s OK saya bilang, toh tempat mereka hendak stay di Jogja satu jalur dengan kepulangan saya. Rasanya nggak tega juga saya bisa dijemput oleh Pak Setiyoko, sementara mereka yang selama seperjalanan merasa senasib masih harus kecapekan cari public transportation sendiri lagi.
Kami melanjutkan istirahat selama sisa perjalanan ini. Melewati Ngawi, Sragen dan Solo. Rasanya merem melek gak karuan. Antara ngantuk, capek, pegal, ingin BAB (hahaha). Sementara matahari yang memuncak nampaknya seperti menghilangkan rasa dingin yang biasanya menyergap meski tengah hari di sepanjang Ramadhan yang kemarau ini. Terbersit sekilas, mungkin begini juga rasanya saudara-saudara saya di Keluarga Amarta Multi Corporation yang pulang mudik naik bus ke rumahnya di Sumatera saat Ramadhan seperti Miftah, Rianti atau mungkin Retno. Kini saya merasakannya.
Akhirnya, sekitar pukul 15.00, kami turun sekitar 80 meter sebelum jalan masuk ke Bandara Adisucipto. Saya maklum, karena sopir bus kesulitan untuk mencari tempat terdekat untuk memberhentikan busnya, dalam kepadatan lalu lintas Jl. Solo didepan bandara tersebut. Seperti sahabat karib yang hendak berpisah, kami saling berjabat tangan erat dengan 2 rekan kami yang hendak melanjutkan perjalanan ke Jakarta menggunakan pesawat dan 2 lainnya yang memutuskan naik taksi. Saya kemudian mengajak Ibu Sheva dan putrinya Chantal, Ibu Dwi, Michael dan Wendy berjalan sedikit ke depan jalan masuk bandara.
Sambil menunggu Pak Setiyoko kami berbincang disebuah kios minuman. Mereka menawarkan makanan dan minuman, tapi saya mengucapkan terimakasih saja, karena masih berpuasa. Michael saya tanya kembali untuk memastikan hotelnya. Ternyata dia bilang itu bukan hotel, dia menunjukkan Google Map di smartphone-nya. Itu JL. HOS Cokroaminoto, sekitar Sudagaran. Tetapi bukan lokasi hotel. Michael bilang dia memesan homestay via internet. Saya menebaknya, jika itu layanan AIR BNB. Michael tersenyum mengiyakan dan mengatakan, “yes Ferdi, you know it!”
Akhirnya Pak Setiyoko datang dan kami segerakan memasukkan barang-barang. Semuanya tampak menghela nafas lega. Setelah hampir 24 jam penuh cerita. Sesekali saya berkelakar sok menjadi tour guide buat Michael dan Wendy. Bu Sheva dan Bu Dwi ternyata professional bidang perhotelan. Mengetahui saya bekerja di bidang training dan konsultasi, kami langsung ngobrol seru dan bertukar kartu nama. Saling berjanji keep contact, bahkan bisa jadi dapat diskon menginap di hotel-hotel yang mereka kelola..hahaha.

Saat tiba di Hotel NEO Jl. Pasar Kembang tempat Ibu Sheva dan Ibu Dwi menginap, kami semua berfoto bersama. Sebagai kenangan kita pernah travelling ujug-ujug bersama. Hehehe… Selepas itu saya antar Michael dan Wendy ke daerah JL. HOS Cokroaminoto tersebut. Begitu turun, mereka menjabat tangan saya erat. Saya berpesan untuk keep contact. Mereka mengiyakan. Wendy bilang, “if you have a chance to visit Czech Republik, you can contact us!” Sambil dia tersenyum lebar. Sure, jawab saya. Michael bilang lagi dia telah mengirimkan link Blog-nya. Sehingga saya sudah mendapatkan juga emailnya. Setelah say good bye. Saya meluncur pulang kerumah dengan rasa rindu didada. Saya masih sempat membuka smartphone dan membaca pesan dari Pak Doddy, saudara saya di AMC, dia bertanya sudah sampai dimana saya menulisi jalan raya. Saya jawab, menulisi waktu dan jalan berderu…dangan hangat matahari Jogja memeluk dengan rindu. Alhamdulillah, saya tiba dirumah.
—
Pertama kali diposting pada 12 Juli 2015