
Menciptakan Keberuntungan
Dalam tulisan sebelumnya saya telah menceritakan kawan-kawan kita yang mendapatkan keberuntungan dengan mengusahakan yang terbaik dari dirinya dengan melibatkan dirinya dalam sebuah jalan bernama perjuangan. Hal tersebut menunjukkan kepada kita, betapa sesungguhnya tidak ada kenyataan yang menunjukkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan itu semudah membalikkan telapak tangan. Kita belajar bahwa segala sesuatu dimulai dari keinginan yang seringkali disebut juga sebagai impian. Impian yang kemudian ingin diwujudkan. Mewujudkannya pun bukan hanya menunggu kemudian besok sore impian itu muncul di depan pintu rumah kita. Kalau begitu caranya, tidur saja nggak usah bangun-bangun lagi mas bro…
Saya jadi teringat perbincangan dengan seorang sahabat, sekitar 4 bulan yang lalu, di sudut desa Aek Pining, Sibolga, Sumatera Utara. Waktu itu, kami sama-sama memfasilitasi sebuah training di perusahaan tambang disana. Sobari, demikian namanya. Berasal dari Kalimantan Timur. Dia cukup lama malang melintang di dunia penebangan hutan. Baik legal maupun illegal. 10 tahun pengalaman itu, menjadikannya operator chainsaw yang mumpuni. Cuma, saat ini dia diminta oleh salah satu instruktur Departemen Kehutanan, untuk menjadi tenaga ahli pembinaan dalam training chainsaw operator.
5 hari kami berada dilokasi tambang tersebut. Kami berada satu kamar dalam camp yang sama disana. Sehingga setiap malam banyak kami berbincang, bertukar pengalaman. Menarik sekali, karena kami berada di dua dunia yang berbeda. Sobari hidup dekat sekali dengan hutan di kampungnya. Sementara saya, meski Jogja tetap nyaman, namun kini semakin padat dengan kemacetan yang kadang menyesakkan. Sobari hidup dengan masuk hutan, mengolah lahan pertanian dan berkebun. Saya sendiri setiap hari bekerja dengan dokumen dan berjam-jam mengeksplorasi internet.
Sobari bercerita banyak tentang akitivitasnya setiap hari. Menjadi operator chainsaw awalnya tidak menjadi keinginannya. Semuanya karena bapaknya yang menua dan sering sakit, sehingga dia harus menggantikan profesi tersebut. Tetapi ia berusaha menikmatinya dan semakin menguasai bidangnya. Dia bekerja di perusahaan kayu beberapa kali, namun tidak betah dan memutuskan untuk berhenti. Bukan berarti malas, akhirnya dia memutuskan bekerja sendiri. Setiap hari pagi hingga sore ia berada di hutan. Jika tidak ada yang membutuhkan jasanya, maka ia akan mengolah lahan dan kebunnya, bahkan menjadi tukang kayu, ketika tetangganya butuh bantuan saat membangun rumah. Bahkan dia bilang, rumah yang ia tempati bersama istrinya saat ini adalah buatannya sendiri. Seluruhnya terbuat dari kayu.
Prinsipnya dia tidak ingin seperti kawan-kawan seusianya yang masih muda. Namun, hanya bergantung pada yang mau mempekerjakan dia atau perusahaan tempat dia bekerja atau menunggu saja lowongan kerja lain saat dia tidak bekerja. Sobari kemudian menyayangkan sikap kawan-kawannya itu.
“Padahal orang hidup kan butuh makan, betul kan Pak Ferdi?”, tanya Sobari.
Dia meminta persetujuan saya. Saya mengangguk-angguk tanda setuju. Saya banyak mendengarkan saja saat dia bercerita. Saya lebih suka demikian. Apalagi bertemu orang lain dari bidang yang lain dan dari tanah kelahiran lain yang jauh dari asal saya.
Ia kemudian berpantun,
“Buah bolok keranci papan
Ngodok-ngodok indikda pamakan”
Saya tersenyum simpul mendengar dia berpantun. Sering kali memang ketika dia bercerita, sambil bernyanyi melayu atau berpantun. Menarik sekali. Saya pikir, hanya orang Sumatera yang demikian. Ternyata dia yang dari Kutai, Sebulu, Kalimantan Timur juga suka demikian. Saya kemudian bertanya, apa arti pantunnya tersebut.
“Artinya, pengangguran tidak bisa makan Pak Ferdi. Sebenarnya banyak sekali pekerjaan disekitar kita. Banyak sekali yang bisa kita kerjakan sesuai yang kita bisa. Tapi kadang kita hanya duduk-duduk dan bermalas-malasan”, tuturnya.
“Makanya saya nggak cuma dihutan Pak, saya punya kebun sayur dan buah yang saya tanam dan pelihara sendiri. Saya punya sawah, meski tidak luas berasnya bisa untuk makan keluarga saya sendiri. Ada juga kolam ikan dibelakang rumah”, lanjutnya bercerita.
Saya tidak lagi mengangguk-angguk. Tapi sekarang menggeleng-geleng. Karena tanpa disadarinya dia mengingatkan saya pada konsep “don’t put all your eggs in one basket”. Secara sederhana pula ia mengajarkan effort yang kuat sebagai manusia yang diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk survive dengan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Maka ketika dia bilang,
“Saya beruntung sekali Pak, bisa menjadi instruktur training seperti ini. Saya tidak menyangka bisa mengajar banyak orang, berbagi ilmu dan pengalaman. Untung sekali Pak Cahyo (Trainer Professional Departemen Kehutanan) mengajak saya. Alhamdulillah.”
Saya tersenyum dan berkata dalam hati. Anda tidak beruntung Sobari. Anda berjuang sehingga berbeda dari ribuan operator chainsaw lain di Indonesia. Ada Faktor X juga yang mengizinkannya menjadi lebih daripada operator chainsaw lainnya. Aktivitasnya sebagai instruktur operator chainsaw, membawa dia dari satu pulau ke pulau lainnya untuk mengajar. Saya tidak tahu apa impian Sobari. Tapi satu hal yang pasti dia mengajari saya komitmen hidup untuk berusaha, tekun dan memiliki ketetapan hati. Meski dalam cerita dan bahasa-bahasa yang sederhana.
Maka, jika sebelumnya saya mengutip salah satu iklan obat cair anti masuk angin, kini saya ingin mengutip kalimat baik dari iklan KPR salah satu Bank besar di Indonesia.
“Semua yang berusaha mewujudkan mimpi, lebih mudah menemukan jalan”
Hehehe, kok iklan lagi? …well…inspirasi bisa dari mana saja kan?
@Sobari: Terimakasih cerita-ceritanya bang. Semoga kita jumpa lagi lain waktu.
—
Pertama kali diposting pada 31 Januari 2019