Ferdian Adi

Jurnal Makna dan Inspirasi

Pergantian Musim

Yogyakarta, Satu November Dua Ribu Sebelas

Setelah cuaca panas setiap hari, siang ini hujan turun deras lagi di Yogyakarta. Beruntung saya ada di mobil seorang teman. Menumpang. Sehingga meski perjalanan agak jauh, saya tidak kehujanan dan bisa mengamati sepanjang jalan.

********************
Saat mendung menggantung semua orang segera bergegas menyelesaikan aktifitasnya diluar rumah atau kantornya. Sayangnya kadang mereka kurang memperhatikan diri dan lingkungannya. Ketika hujan, tampaknya sebagian orang belum siap. Mereka tampak basah kuyup tak membawa jas hujan. Semua nampak terburu-buru, tergesa-gesa dan ceroboh. Sehingga membahayakan sesama saat berkendara.

Jikalau hujan telah turun meyapa bumi dan tidak mau basah kita terkena hujan, maka ada baiknya menepi sesaat. Menunggu. Tak usah tergesa. Akhirnya lebih arif kita melakukan perjalanan setiap harinya. Benar kiranya pepatah sedia payung sebelum hujan. Bukan payung dalam bentuk fisik saja atau mungkin juga jas hujan. Pikir dan hati kita pun seharusnya lebih siap dengan musim yang berganti.

Ya, musim telah berganti. Saya rasa setiap orang pun mengalaminya sejak ia kecil hingga ia dewasa. Hanya saja tidak semua orang mampu menyikapinya dengan bijaksana. Saat panas menguras peluh, banyak wajah menjadi keruh. Ketika hujan tiba-tiba dengan semangat menyergap, banyak yang mengeluh bahwa pakaian yang mereka cuci tidak segera mengering dan berbau tidak enak.

Untunglah Tuhan mengajarkan kata Alhamdulillah. Sebagai tingkat kesyukuran atas segala nikmat yang tergambar dalam nikmat musim yang berganti. Sehingga banyak orang bisa lega dan berbahagia dengan apa yang ada. Serta tetap menghadapi setiap musim dengan segenap kemampuan yang ada untuk mampu bertahan didalamnya.

Demikian hidup kita. Bukankah segala macam kejadian dalam hidup kita ini juga layaknya musim yang berganti? Sesuatu yang juga harus kita hadapi. Hanya yang membedakan setiap orang adalah bagaimana cara menghadapinya.

Musim yang berganti dalam kehidupan kita bisa kita lihat sebagai gambaran atas masalah-masalah yang kita hadapi dalam kehidupan. Entah bagaimana anda membahasakan “masalah”, tetapi ada banyak pribadi yang menyebut “masalah” sebagai sebuah “tantangan”. Sehingga seperti adanya dorongan untuk menjawab “tantangan” tersebut. Walhasil, aura optimisme positiflah yang di tebarkan.

Maka sejatinya kita akan senantiasa dihadapkan dengan “pergantian musim”. Dimana kita harus senantiasa siaga dan mencari cara terbaik untuk menghadapinya. Ketika kita telah menyelesaikan sebuah tantangan. Maka akan muncul tantangan lainnya.

Itulah mengapa dalam Tuhan menitahkan bahwa apabila kita telah selesai dari suatu urusan, maka kita harus tetap bekerja keras untuk menyelesaikan urusan lainnya (AL QUR’AN, 94:7). Sebelumnya Tuhan pun telah meneguhkan kita dengan kalimat yang diulang hingga dua kali bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (AL QUR’AN, 94:5-6).

Tantangan kita semakin hari semakin besar. Semakin tumbuh kita maka selayaknya kita harus mampu lebih dewasa menghadapi setiap “pergantian musim”. Bukan hanya dewasa dari segi fisik dan intelektual kita. Tetapi kedewasaan dalam cara kita ber-Ketuhanan merupakan faktor penting dan paling utama untuk menjawab segala tantangan yang ada.

Ketika kita jujur pada nurani, maka naluri dasar kita yang ber-Tuhan akan mengakui bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Demikian halnya tidak ada masalah yang bisa diselesaikan tanpa kehendak-Nya. Maka kedewasaan kita ber-Tuhan akan menuntun kita pada kepasrahan dan keikhlasan menjalankan kehidupan sesuai aturan-Nya.

Apakah kedewasaan ber-Ketuhanan ini juga menjadi tolok ukur utama bagi para pemimpin bangsa kita yang sedang berada dalam “musim badai”?

********************
Beberapa tukang angkut material di sebuah toko bahan bangunan nampak santai beristirahat. Meski tampak letih mereka berbincang ceria di atas sak-sak semen sambil menatap hujan yang semakin deras dan asap rokok mengepul dari mulut mereka.

Saya tersenyum melihat dua orang anak lelaki dan perempuan yang berdiri berdekatan dan saling menatap malu-malu di teras depan sebuah bangunan tua. Sepertinya menunggu hujan. Namun saya yakin mereka berharap hujan turun selama mungkin. Menahan mereka dengan degup panjang di dada.

Sayup-sayup radio di mobil kawan saya ini bersenandung lagu lama Guns n Roses. November Rain. Aah, bisa saja channel radio ini memilih lagu.

Saya menyandarkan kepala di kaca, menikmati bulir-bulir bening yang menghunjamkan memori. Menikmati jiwa yang terlontar jauh pada dimensi masa yang tidak terjamah mata.

Diposting pertama kali pada 1 November 2011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *