Ferdian Adi

Jurnal Makna dan Inspirasi

Sedekah Dengan Memudahkan Urusan Orang Lain

Memudahkan Urusan Orang Lain Itu Tak Mudah Tapi Mungkin…Ya Memang Mungkin, Karena Memudahkan Urusan Orang Lain Itu Walau Sekecil Apapun, Bagian Dari Sedekah, Aamiiin.

Kata-kata diatas itu status Faceb**k milik Ibu Retno Sulistyowati. Seorang sahabat di social media yang saya panggil Eyang. Istimewa memang media internet. Meski tak berjumpa secara fisik. Kami telah bersaudara meski secara virtual. Dekat dihati dan saling mendoakan, Inshaa Allah. Tapi bisa jadi agak absurd jika tak pernah berusaha silaturrahmi. Tenang Eyang, kami usahakan bisa berjumpa. Cucu Eyang juga sudah bertambah besar sekarang.

Beliau memang tidak muda lagi (nggak enak ah..kalau saya ngomong sudah tua..nah lho? hehehe..). Tetapi, saya yakin semangatnya luar biasa. Bahkan sibuk dari majelis taklim satu ke yang lainnya, demikian beliau bercerita. Kalimat diatas mencitrakan ghirah beliau dengan affirmasi religi.

Kalimat itu pula menggelitik alam pikir saya untuk mencatatnya dalam jurnal ini. Menarik bagi saya, karena tidak semua dari kita mampu memaknai sesederhana apapun yang kita lakukan menjadi sesuatu yang tinggi nilainya. Seperti halnya dengan memudahkan urusan orang lain.

Hal tersebut mengingatkan saya pada suatu waktu yang lampau di Cilacap. Suatu ketika saya pernah mengalami kecelakaan motor. Memang agak fatal, saya menabrak seorang pengendara sepeda dari belakang. Saya mengantuk dan jalanan memang gelap yang membuat kantuk saya semakin berat. Tanpa saya sadari, saya menubruk pengendara sepeda tersebut dari belakang. Akibatnya, pengendara sepeda tersebut jatuh ke dalam selokan.

Untungnya yang bersangkutan tidak luka parah. Ia bisa bangun, keluar dari selokan, sambil marah-marah, namun penuh luka luar yang tidak bisa disepelekan. Saya pun mengalami luka luar agak serius, namun karena sadar ini adalah kesalahan saya, saya tidak terlalu mempedulikan luka tersebut. Saya berusaha merespon kemarahannya dengan tetap tenang, menyerahkan semua identitas saya, ketika dia memintanya dengan mengancam akan membawa saya ke kantor Polisi dan Markas Angkatan Laut di daerah saya tersebut, karena dia ternyata pensiunan Angkatan Laut. Sesopan mungkin saya menenangkannya dan meminta waktu padanya untuk menghubungi orang tua saya.

Mungkin karena ia melihat itikad baik saya. Ia mengiyakan dan membiarkan saya mengurus segala sesuatu. Sampai mengantar dia ke rumah sakit, membawanya pulang dan membetulkan sepedanya. Awalnya ada tetangganya yang usil memanaskan suasana agar ia meminta sejumlah uang lagi kepada saya. Namun ia justru marah kepada tetangga tersebut dan membela saya karena baginya ini adalah musibah bersama. Bahkan ia menyembunyikan soal kecelakaan ini dari anaknya yang terkenal sebagai preman. Dia takut persoalan akan menjadi semakin rumit.

Saya sungguh terkesan. Di balik penampilannya yang keras dan sangar. Bapak yang saya tabrak ini memiliki hati yang lembut. Dua kali kemudian kala itu saya mengunjunginya lagi. Dia sudah menganggap saya seperti cucunya. Hingga kini, ketika saya sudah jauh di Yogyakarta ia juga masih punya hubungan baik dengan orang tua saya.

Bapak itu sungguh memudahkan saya. Ia tidak mempersulit saya sewaktu kecelakaan.

Kejadian yang hampir sama menimpa rekan saya. Ia menabrak mobil diparkir dipinggir jalan, dalam kondisi mengantuk. Karena ini hanya single accident, maka hanya dia yang cedera. Namun mobil yang ditabrak tentu ada bagian yang rusak. Diluar perhitungan, ternyata justru pemilik mobil mengantar si penabrak ke rumah sakit dan mengurus pengobatannya. Ia pun tidak menuntut apapun ke penabrak mobilnya itu. Bahkan dengan lembut ia menyatakan tidak apa-apa dan menganggap dari peristiwa ini ada kenalan baru dan bisa bersaudara. Si pemilik mobil pun sangat memudahkan urusan ini.

Saat membicarakan soal kemudahan-kemudahan tersebut, ibunda saya menyampaikan beberapa makna mendalam. Dahulu pun keluarga ibu pernah mengalami hal yang sama. Salah satu saudaranya meninggal akibat ditabrak oleh seseorang. Meski si penabrak siap bertanggungjawab sepenuhnya, kakek saya mengikhlaskan kejadian ini. Bagi kakek, kematian anaknya adalah sebuah takdir yang memang tidak bisa dihindari. Ia tidak menuntut apapun kepada si penabrak. Ibu saya menceritakan sifat dan prinsip-prinsip kakek yang senantiasa berusaha tidak menyulitkan orang lain dan bertenggang rasa. Salah satunya adalah;

Sapa sing nandur bakalane ngunduh, iya mbok?

(tentu dengan aksen ngapak Banyumas yang kental, hehehe….)

Artinya siapa yang menanam maka ia akan menuai. Jika kita menanam kebaikan maka kebaikan pula yang akan kita peroleh. Bahkan berlipat dari apa yang kita pikirkan. Itulah sedekah.

Namun sejatinya ada sesuatu yang sangat berorientasi ke masa yang akan datang. Ngunduh atau menuai bukan berarti harus terjadi pada saat itu juga atau setelah selesai kita menanam kebaikan. Meski seringkali Tuhan juga sangat cepat memberikannya kembali. Ngunduh juga tidak hanya berarti untuk diri kita.

Bagi kakek, ngunduh itu bisa menjadi hasil dan akibat yang dinikmati anak cucu keturunannya. Ia tidak pernah berharap kembalinya kebaikan untuk dirinya setelah ia melakukan kebaikan. Meski amal shalih pribadi memang tidak bisa diwariskan, saya paham itu. Namun ilmu dan pemahaman akan amal shalih yang dijadikan sebagai pendidikan anak keturunan merupakan kekuatan sepanjang zaman.

Maka kami anak keturunannya sangat merasakan hal tersebut. Dalam banyak hal, kami seringkali dimudahkan. Kami seringkali menemukan jalan. Termasuk seperti yang saya ceritakan di atas. Itulah sedekah.

Ada banyak sekali peristiwa dalam hidup kita ketika bermuamalah dengan orang lain. Lupa, konflik, beda pendapat, kecelakaan, hutang, tanggungjawab dan lain sebagainya. Disinilah banyak kita diuji. Kadang harus tegas tetapi tidak menyulitkan. Maka seperti apa yang telah diucapkan oleh Ibu Retno diatas, sekecil apapun kita berusaha memudahkan urusan orang lain, itu adalah sedekah.

Semoga Alloh melapangkan hati kita untuk meniatkan segala sesuatu yang dilakukan menjadi nilai tertinggi dalam catatan-NYA. Sekecil apapun itu dalam pandangan kita yang terbatas.

Aamiin.


Pertama kali diposting pada 6 Februari 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *