Wis Bathi Durung?
Kalimat diatas adalah kalimat tanya yang begitu sering saya jumpai ketika bertandang atau silaturrahmi ke rumah orang-orang tua dan sanak kerabat. Sudah 2 tahun sejak saya pertama kali berumah tangga, dan sejak 3 dan 4 bulan awal pernikahan mereka menanyakan hal yang sama dengan aksen Banyumas yang amazing itu, atau medhok Kudus dan Jogja yang kental…” wis bathi durung?” (sudah dapat untung belum?). Kalimat itu sebenarnya bermakna pertanyaan bahwa apakah istri kita sudah mendapatkan kehamilannya atau belum.
Dulu kami (saya dan istri) agak susah menjawabnya, karena terang saja, belum ada tanda-tanda si Junior mau datang. Ketika akhirnya dia menetap di rahim istri, dua bulan kemudian, Alloh SWT dengan Cinta-Nya, menghendaki ia “pulang” terlebih dahulu. Demikian halnya sang adik, ia hanya bertahan 3.5 bulan dikandungan ibunya. Tetapi apakah itu berarti kami belum “bathi” (untung)? Tidak, kami sudah mendapatkan “bathi”, karena Alloh SWT sudah mempersiapkan mereka menunggu kami kelak. Itu keyakinan kami.
Seorang sahabat berkata, “Subhanallah, bersyukurlah, karena kami selama 9 tahun terakhirpun belum pernah dititipi amanah itu barang sehari saja. Kalian sungguh beruntung, diberi amanah selama 3 bulan”, demikian tuturnya. Alhamdulillah, kami bisa memahami hal tersebut.
Kini, istri saya sudah memasuki usia kehamilan ketiga dibulan ketujuh. Oleh karenanya tulisan ini dibuat sebagai peringatan “mitoni” (tujuh bulanan-red:tradisi Jawa; meski tentu kami tidak mengejawantahkannya sebagai tradisi Jawa). Sekedar pemicu bagi bagi kami, bahwa amanah itu semakin dekat akan kami emban dengan segala rasa dan kehidupan. Subhanalloh. Semoga Alloh melancarkan perjalananmu melihat cahaya Ilahi diluar rahim ibumu nak….
Jadi, sekarang kami bisa menjawab “..nggih mbah, Alhamdulillah, dipun paringi Ingkang Maha Kuwaos.”( Iya Mbah, Alhamdulillah, Pemberian Yang Maha Kuasa) hehehe, dijawab dengan sumringah.
“Bathi” atau untung dalam pernikahan sejatinya memiliki perjalanan panjang secara filosofis untuk mencapai pernikahan yang hakiki. “Bathi” bukan berarti kita punya anak saja. “Bathi” pun bermakna bagaimana proses akan “beranak” hingga muncullah sang –NEXT GENERATION-, menjadikan diri kita jauh lebih matang dan dewasa.
Lebih matang dan dewasa, karena dari dua kepala, kita menjadi tiga, empat dan seterusnya. Harus matang dan dewasa, karena ketika bisa makan hari ini untuk berdua, maka esok harus siap dengan stok logistik untuk lebih banyak perut. Harus matang dan dewasa, karena istilah “suami idaman” atau “istri idaman” sesungguhnya sangat standar. Sudah semestinyalah, kita memilikinya lewat waktu dan consciousness (kesadaran). Esensi sesungguhnya ketika memahami peran kita ketika sudah memiliki efek “bathi” dalam rumah tangga.
“Bathi” dengan menikah dan punya anak juga bukan berarti kita jauh lebih pintar dari orang lain yang belum punya anak. Seperti ada seorang kenalan yang sangat bahagia punya anak, namun jadi agak “wagu” ketika setiap hari berceramah tentang kehamilan dan pengasuhan anak, tanpa diminta. Apalagi dengan embel-embel “kalo aku..” aku tuh sama anakku..”…besok kamu kalo punya anak…”, dengan segerombolan teori yang berduyun-duyun dibelakangnya seperti orang antri tiket ngebet pulang mudik saat lebaran. Padahal anaknya baru berusia 6 bulan.
Maka dengan “bathi” saya rasa kita harus lebih dewasa. Setiap pernikahan berbeda dengan lainnya. Sama halnya setiap anak pun menjadi pribadi yang berbeda. Selanjutnya setiap teori, hanyalah pembentuk kesimpulan yang berbeda, yang menjadi teori baru bagi yang sudah melakukan life time examination – penelitian mendalam sepanjang hayat di kandung badan. Subjeknya, ya Anda and your wonderful generation. Bapak, ibu dan si Junior. Teori baru yang dimiliki oleh anda dan keluarga. Menjadi privilege, tetapi tidak bagi subjek-subjek yang lain.
Efek “bathi” dalam rumah tangga itu pun seharusnya menghilangkan euphoria “just you and me” atau malah “just you or just me”. Guys, we are not alone anymore! Sehingga ketika ada perselisihan, ingatlah bahwa ada “gundul-gundul” yang menjadi tanggungjawab anda.
Maka pernah ada seorang kenalan, berusia jauh diatas saya dan curhat tentang kelakuan istrinya yang menyebalkan. Lalu dia merasa seorang sahabat wanitanya lebih “menentramkan” dengan hubungan di balik layar dan merasa selingkuh adalah legalitas tanpa batas (damn you man!). Dengan enteng saya pisuhi dia dengan kata-kata ..”wis edyan po kowe Pak!, koyo artis wae!… kakehan nonton sinetron!”
Saya guncang-guncang dia supaya sadar bahwa gunung-gunung berapi sudah mulai meletus, tsunami mengincar nyawa tanpa ampun dan bahwa wajahnya seperti laki-laki dalam iklan Djarum ’76, yang meminta pada Jin supaya setelah kaya wajahnya jadi tampan. Tak ayal sang Jin berkata “…ngimpi!”
So guys, yes we are married! And yes everybody is married or dying to get married. Mari kita hayati peran kita masing-masing lebih elegan. Seperti pendidikan yang menjadi proses belajar sepanjang hidup, maka “marriage is also lifetime learning”.
Buat anda yang sudah menikah, selamat anda sudah “bathi”. Buat yang belum menikah anda juga “bathi”, masih bisa belajar untuk mempersiapkan diri.
Buat kita yang sudah punya anak atau belum. Sungguh kita ini sangat “bathi” secara Ilahiyah. Karena di luar sana, banyak orang mendapatkan “bathi”, tanpa mengurus perizinan di tempat keramat bernama Kantor Urusan Agama dan bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun janji berkhasiat bertajuk “Ijab Qobul”. Walhasil, anaknya tidak diketahui legalitas “kewarganegaraannya”.
Jadi, bagaimana menurut panjenengan? “Wis bathi durung?”
—
NOTE:
- Diposting pertama kali pada 4 NOVEMBER 2010
- Photo diatas adalah satu tahun setelah postingan ini dibuat, tepatnya sekitar Azzam Al Fawwaz anak pertama kami dari kehamilan ketiga, berusia sekitar 8 atau 9 bulan