Membaca Karjo dan Asep
Kemarin sore tanpa sengaja saya bertemu dengan kenalan lama. Seorang penjual siomay keliling, sebut saja Karjo. Sekitar tahun 2004-2006 dulu saya sering membeli siomay kalau saat dia lewat depan rumah. Selain siomay buatannya enak, dia juga ramah. Jadi dulu dia sering mampir dan berbincang dengan saya. Tetapi semenjak saya pindah, saya hampir tidak pernah ketemu Karjo lagi. Sesekali saya lihat, namun hanya berpapasan dijalan. Senang rasanya bertemu teman lama, kemarin sore itu. Saya pun bercakap-cakap sebentar.
Dari pertemuan singkat dipinggir jalan itu saya jadi tahu, ternyata masih saja Karjo setia berjualan siomay. Perlu anda sekalian ketahui, saat bertemu dengan saya tahun 2004, si Karjo ini sudah berjualan siomay sejak tahun 1996. Dengan sepeda dan gerobak kecil yang sama. Artinya saat ini sudah 13 tahun Karjo berjualan siomay dengan cara yang sama setiap hari.
Saya ingat dahulu saya pernah bertanya, apakah dia tidak ingin mengembangkan usahanya. Saya juga sering bercerita kepada dia tentang pengusaha-pengusaha makanan sukses, yang awalnya juga menjadi penjual keliling seperti dia. Karjo menjawab tidak berani dan belum mau berpikir terlampau jauh. Padahal saya ingat dulu dia sudah menginjak usia 32. Usia yang seharusnya matang dengan pemikiran masa depan. Namun saya tidak mau memaksanya lebih jauh, karena pilihan hidup ada ditangannya. Singkat cerita, tetaplah dia menjadi penjual siomay biasa. Saya tidak tahu entah sampai kapan.
Lain cerita dengan Asep. Dia juga teman baik saya, seorang pemilik warung bubur kacang hijau dan mie instan rebus (warung burjo). Saat pertama saya makan mie ditempatnya, saya sudah kuliah di semester 5, masih dibiayai orang tua. Sementara saat itu Asep berumur 17 tahun dan sudah membuka bisnis pertamanya. Setahun kemudian Asep bahkan membawa orang tuanya dari Kuningan, Jawa Barat, untuk tinggal bersamanya di Jogja. Terakhir saya bertemu dengannya dia telah memiliki 4 warung burjo, dan hendak membuka warung lainnya. Itu dilakukannya dalam waktu 3 tahun.
Saya tidak melihat perbedaan mencolok dari latar belakang Karjo dan Asep. Bahkan Asep tidak lulus SD. Sementara Karjo lebih beruntung bersekolah sampai SMP. Mereka sama-sama berasal dari desa dan mengadu nasib di kota. Lihatlah hasilnya. Karjo masih berjualan siomay selama 13 tahun dan masih sama seperti dulu. Sementara Asep dalam waktu 3 tahun dia telah memiliki 4 warung burjo dan memiliki beberapa karyawan.
Saya tidak akan membahas berapa nilai pendapatan Karjo atau Asep. Atau omzet dan asetnya. Bacaan kehidupan Karjo dan Asep mungkin sederhana namun sarat makna. Bahwa mengecap pendidikan tinggi seharusnya jauh lebih membuka mata saya untuk berbuat dan bertindak lebih baik setiap harinya. Berlatarbelakang kehidupan yang lebih beruntung dari Karjo dan Asep, membuat saya harus bersyukur dan terus menorehkan prestasi setinggi-tingginya setiap hari.
–
Diposting Pertama kali pada April 2009
Terakhir saya ketemu Karjo ditahun 2018, dia masih berjualan Siomay. Namun sekarang dia menggunakan sepeda motor 😀