Azzam Dan Socrates Café: Menghikmati Esensi Kehidupan
AZZAM
Semakin hari, Azzam anak saya semakin aktif. Dulu ketika belajar berjalan, dia tidak melewati proses merangkak, karena memang tidak mau merangkak. Jadi dia berdiri lalu tertatih belajar berjalan. Hingga saat ini, hampir dia tidak bisa diam dan selalu berlari kesana kemari sejak ia bangun. Dua hari lagi sejak tulisan ini saya posting, dia akan tepat berusia dua tahun. For me, it’s always amazing. Menyaksikannya tumbuh. Seperti orang tua yang lain, maka hanya kesyukuran yang senantiasa harus dipanjatkan ketika kesehatan senantiasa diberikan kepada amanah super bernama anak.
Selain aktif bergerak, Azzam juga semakin ceriwis, pandai bicara dan menirukan. Ini yang harus saya dan istri perhatikan baik-baik. Karena jika tidak hati-hati, maka apa yang kita ucapkan buruk, bisa jadi tertanam sejak ia mendengar dan menirukannya. Hal ini pun sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan umum sebagian besar orang tua. Meski tidak semua menyadarinya atau kadang lalai berkata.
Keceriwisan Azzam seringkali menjadi sesuatu yang menarik dan menantang buat saya. Apalagi ketika keingintahuannya terhadap hal-hal baru membuatnya selalu bertanya. Dia akan menanyakan sebuah hal dan berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Apapun itu. Semisal saat pagi hari, saya suka minum kopi diteras rumah sembari menuangkan ide dalam tulisan. Maka sejak saya mengambil laptop dari tas, dia akan mulai bertanya. Dimulailah dialog itu.
Azzam: “Itu apa Ayah?”
Ayah: “Laptop nak..”
Azzam: “Laptop apa Yah..?”
Ayah: “Laptop Ayah..”
Azzam: “Buat apa yah?”
Ayah: ”Buat menulis..” (salah gak ya jawaban saya, sejak kapan konsep dasar menulis memakai laptop, tidak memakai pensil atau ballpoint? hehehe)
(Sambil membuntuti saya ke teras depan, dia terus mengejar dengan pertanyaannya)
Azzam: “Nulis apa Yah..?”
Ayah: “Menulis ide..” (saya beri dia istilah baru, paham atau tidak dia, saya harus menjawab)
Azzam: “Ide apa Yah..”
Ayah: “Ide posting blog..” (istri saya mulai senyum-senyum dengan jawaban saya yang mulai rumit untuk anak seusianya)
Azzam: “..sting bog apa Yah?” (nah, mulai dia susah menirukan …tapi masih bertanya..hehehe)
Ayah: “Posting blog itu adalah…bla..bla..bla….”
Saya mulai jelaskan sampai 2 atau 3 paragraf mengenai konsep blogging. Dengan wajah polos yang menggemaskan dia memperhatikan saya seksama. Istri saya akhirnya tertawa kecil menganggap saya lebay karena menggunakan bahasa-bahasa yang belum bisa dipahami Azzam. Saya pribadi juga tersenyum-senyum sambil menjelaskan.
Terakhir saya balik bertanya ke Azzam (using English),
“OK, do you understand?”
Azzam nyengir, lalu menjawab:
“OK…sten” ..kemudian ia sibuk kembali dengan mobil-mobilan dan balok-balok kecil mainannya. Hahaha…
That’s it…
Hal ini terjadi setiap hari, berulang dan mengenai banyak hal. Saya akan berusaha menjawab segala hal yang ditanyakannya. Demikian juga istri. Secara umum juga ini menjadi pengetahuan umum sebagian besar kita yang berusaha terus belajar parenting. Kita harus mampu memuaskan keingintahuan anak dengan banyak pertanyaan yang dilontarkannya. Menjawabnya pun harus dengan berbagai pola sekreatif yang kita bisa. Demikian halnya kita tidak boleh mencegahnya bertanya dan jangan mengabaikannya ketika kita bingung menjawabnya. Banyak literatur dan artikel parenting mengenai hal ini.
Ketika hal ini terjadi dan terus berulang, saya merenungkan konsekuensi yang ada. Artinya kita harus mampu mengolah segala pengetahuan yang kita miliki dan terus belajar. Bahkan harus memahami momentum jawaban yang tepat saat usia dan logikanya bertambah. Wuiih…tidak mudah ternyata ya.
SOCRATES CAFÉ
Hal lain yang saya renungkan adalah saya jadi teringat, sepertinya soal tanya jawab ini pernah saya baca sekitar 10 tahun yang lalu. Seorang teman baik membeli buku baru kala itu. Saya mampir di kostnya dan menemukan buku tersebut tergeletak di atas tempat tidurnya. Karena tertarik waktu itu, saya kemudian saya membacanya. Sampai-sampai saya menjadi tamu tidak tahu diri dan membiarkan teman saya itu mengobrol dengan teman lain yang hadir. Saya tidak lengkap membaca semua memang, tapi banyak hal esensial yang saya nikmati ketika menelusuri konsep-konsep di dalamnya.
Socrates Café, demikian judul buku tersebut. Well, buku ini memang berbasis pada prinsip-prinsip Socrates dan perjalanannya dalam menjelajahi filsafat dan pikir diri. Seorang filosof yang terkenal dengan frase “I know that I know nothing”. Metode pembelajaran Socrates bukanlah dengan cara menjelaskan, melainkan dengan cara mengajukan pertanyaan, menunjukkan kesalahan logika dari jawaban, serta dengan menanyakan lebih jauh lagi, sehingga para siswanya terlatih untuk mampu memperjelas ide-ide mereka sendiri dan dapat mendefinisikan konsep-konsep yang mereka maksud dengan mendetail.
Buku ini ditulis oleh Christopher Phillips, yang mengusung konsep tersebut diatas. Memunculkan kembali apa yang diyakini oleh Socrates bahwa hidup harus direfleksikan. Socrates yang kemudian pergi ke pasar dan jalan-jalan untuk berbicara dengan orang-orang untuk menemukan kebenaran sejati dengan bertanya dan bertanya.
Bagi Christopher Phillips, filsafat yang dianggap melangit dan tidak terjangkau oleh setiap orang, harus dibawa kembali ke masyarakat umum. Dia berupaya untuk mengembalikan semangat bertanya. Untuk menemukan kebenaran yang utuh. Christopher Phillips melakukannya di kafe-kafe, sekolah dasar,universitas, toko buku, panti jompo, dan bahkan di penjara dari anak-anak hingga lansia. Bertanya, jawab dan bertanya lagi. Hingga setiap pribadi mampu merefleksikan dan menggali pemahaman terhadap ide yang dimunculkan.
Chris rupanya memang sangat terpengaruh Socrates yang percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang. Pepatahnya yang terkenal: “Kenalilah dirimu”.
Saya sebenarnya bukan pecinta filsafat. Hanya menikmati saja dengan alur dan sedikit kompleksitas pemikiran didalamnya. Meski tidak semua hal kompleks didunia ini dan nggak harus dibuat kompleks. Bahkan pada titik tertentu diluar nalar kita sebagai manusia biasa ada hal-hal yang sudah jelas tidak bisa kita sentuh. Semisal pembahasan segala hal tentang yang Tuhan bersifat tauqifiyah (tidak bisa diganggu gugat).
Buku ini pun sangat menarik untuk saya. Oleh karenanya ada refleksi ketika saya melayani Azzam dengan puluhan pertanyaan setiap hari. Entah, mungkin lebih. Saya jadi teringat salah satu bagian Socratic method yang diusung dalam Socrates Café tersebut. Saya tidak mengatakan bahwa Azzam mengetahui Socratic Method..hahaha, hal yang sangat tidak mungkin. Hanya Azzam telah mengingatkan mengingatkan kembali pada hal tersebut.
Dialog-dialog yang terjadi antara saya dan Azzam menjadi pertanggungjawaban bagi saya untuk kemudian memberikannya pencerahan. Semakin menarik ketika kadang sesuatu yang pernah dijelaskan kepadanya, ia pertanyakan kembali di hari yang lain. Ketika jawaban kami sedikit berbeda, meski esensinya sama, ia akan menolaknya. Kemudian menjawab persis sesuai kalimat yang kami jelaskan sebelumnya. Ia seperti menegaskan kembali. Kini setiap ia bertanya dan saya menjawab. Saya akan menanyakan kembali kepadanya apa yang sudah saya jawab. Maka ia bisa mengulangi jawaban saya dengan baik.
Saya nikmati hal ini. Karena Azzam pun telah mengajarkan saya untuk melakukan refleksi. Mempertanyakan kembali makna dari apa yang kita lakukan sehari-hari, bahkan hal-hal yang sederhana sekalipun. Bisa jadi saya pun harus senantiasa mempertanyakan kembali esensi hidup itu apa dan bagaimana?
Aah…saya pun jadi teringat. Dahulu pernah belajar di sebuah halaqoh pergerakan Islam. Maka diawal kali pertama kajian tersebut. Saya disodori tiga pertanyaan mendasar. Bisa jadi pertanyaan ini juga untuk anda pembaca budiman;
Dari mana anda berasal sebelum kehidupan?
Untuk apa dan mengapa anda hadir dalam kehidupan?
Hendak kemana anda setelah kehidupan?
Referensi:
- Socrates Café
- socratescafemn.org
- Wikipedia.org
- Image courtesy: Wikipedia.org
- Image courtesy: getlocalhop.com
—
Pertama kali diposting pada 3 Februari 2013